pengormatan leluhur

[2/10 19.30] Suhandono: Penjelasan mengenai penghormatan terhadap orang yang telah meninggal sangat mendalam dan mencakup berbagai aspek budaya dan agama. Dalam banyak tradisi, menghormati orang yang telah meninggal bukan hanya sekadar ritual, tetapi juga merupakan cara untuk menjaga hubungan dengan leluhur dan menghormati warisan mereka. 

Misalnya, dalam budaya Tionghoa, festival Qingming adalah waktu untuk membersihkan dan menghormati makam nenek moyang, menunjukkan rasa syukur dan cinta. Di sisi lain, dalam konteks agama, seperti dalam Gereja Katolik, keyakinan akan intercession (perantaraan) orang-orang suci memberikan makna tambahan pada praktik penghormatan tersebut. 

Venerasi ini juga bisa berfungsi sebagai pengingat bagi orang yang masih hidup tentang nilai-nilai dan ajaran yang diwariskan oleh para leluhur, sehingga mendorong mereka untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip yang dihargai dalam komunitas mereka.
[2/10 19.32] Suhandono: tentang penghormatan nenek moyang dalam konteks berbagai budaya di Eropa, Asia, Oseania, serta Afrika dan Afro-Amerika sangat mencerminkan kompleksitas dan keberagaman praktik ini. Penghormatan nenek moyang tidak hanya berfungsi sebagai praktik spiritual, tetapi juga sebagai cara untuk memperkuat ikatan sosial dan budaya dalam masyarakat.

Dalam banyak budaya, penghormatan ini mencerminkan keyakinan bahwa nenek moyang masih memiliki pengaruh dalam kehidupan sehari-hari, dan dengan menghormati mereka, individu atau komunitas dapat memastikan kesejahteraan serta perlindungan. Praktik ini juga membantu menanamkan nilai-nilai kekerabatan, seperti bakti dan kesetiaan, serta memberikan rasa identitas dan kontinuitas dalam suatu garis keturunan.

Dalam konteks yang lebih luas, penghormatan nenek moyang dapat terlihat dalam berbagai bentuk, seperti ritual, perayaan, dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, di banyak budaya, terdapat upacara khusus yang diadakan untuk mengenang nenek moyang, di mana anggota keluarga berkumpul untuk berdoa, menceritakan kisah, dan merayakan warisan mereka.

Penghormatan nenek moyang ini juga menunjukkan ketahanan budaya dalam menghadapi perubahan sosial dan teknologi. Meskipun dunia semakin modern, nilai-nilai dan praktik ini tetap relevan, sering kali diintegrasikan ke dalam konteks agama atau spiritual yang lebih luas.
[2/10 19.33] Suhandono: Hormat kepada leluhur tidak sama dengan pemujaan atau penyembahan dewa. Dalam beberapa budaya Afro-Amerika, para leluhur dipandang mampu sebagai perantara atas nama mereka yang masih hidup di dunia, sering kali sebagai pembawa pesan antara manusia dan dewa-dewa. Sebagai roh yang dulunya adalah manusia, mereka dipandang lebih mampu untuk mengerti kebutuhan manusia dibandingkan dengan makhluk ilahi. Dalam budaya lainnya, tujuan pemujaan leluhur bukan untuk meminta bantuan tetapi sebagai bakti seseorang. Beberapa budaya meyakini bahwa leluhur mereka benar-benar perlu dirawat atau dilayani oleh keturunan mereka yang masih hidup di dunia, dan praktik tersebut termasuk persembahan makanan dan berbagai ketentuan lainnya. Lainnya lagi tidak percaya bahwa para leluhur bahkan menyadari apa yang dilakukan keturunan mereka bagi mereka, tetapi ungkapan bakti itulah yang penting.

Kebanyakan budaya yang mempraktikkan penghormatan leluhur (bahasa Inggris: ancestor veneration) tidak menyebutnya "pemujaan leluhur" (ancestor worship). Dalam bahasa Inggris, kata worship (biasa diterjemahkan menjadi pemujaan atau penyembahan)[a] umumnya mengacu pada devosi dan cinta yang penuh hormat kepada dewa (ilah) atau Tuhan (Allah).[3][4][5] Namun, dalam budaya-budaya lainnya, tindakan pemujaan ini tidak berkaitan dengan keyakinan bahwa leluhur yang telah meninggal tersebut telah menjadi semacam dewa. Sebaliknya tindakan ini merupakan suatu cara untuk menghargai, menghormati, dan mengurus para leluhur dalam kehidupan setelah kematian mereka, serta mencari petunjuk atau bimbingan bagi keturunan yang masih hidup di dunia. Dalam hal ini banyak budaya dan agama melakukan praktik serupa. Beberapa di antaranya mungkin mengunjungi makam orang tua atau leluhur mereka, menaruh bunga di atasnya, berdoa bagi mereka untuk menghormati dan mengenang mereka, bahkan juga meminta leluhur mereka untuk terus menjaga mereka. Tetapi hal-hal ini tidak dianggap sebagai memuja atau menyembah karena istilah pemujaan atau penyembahan tidak menunjukkan makna demikian.
[2/10 19.36] Suhandono: bahwa frasa "penghormatan leluhur" lebih mencerminkan praktik dan keyakinan yang dipegang oleh banyak kelompok budaya dibandingkan dengan istilah "pemujaan leluhur." Penggunaan kata "penghormatan" (veneration) dalam konteks ini mencakup nuansa yang lebih mendalam tentang pengakuan dan penghargaan terhadap martabat serta kontribusi para leluhur. 

### Beberapa Poin Penting Terkait Penghormatan Leluhur:

1. **Konsep Veneration**: Dalam bahasa Inggris, kata "veneration" merujuk pada penghormatan yang mendalam dan serius, sering kali dihubungkan dengan martabat, hikmat, dan dedikasi. Ini sejalan dengan bagaimana banyak budaya melihat para leluhur mereka—sebagai sumber kebijaksanaan dan panutan yang harus dihormati.

2. **Pengaruh Konfusianisme dan Buddhisme**: Dalam tradisi yang dipengaruhi oleh Konfusianisme, seperti di Tiongkok, penghormatan terhadap leluhur adalah bagian integral dari etika sosial dan keluarga. Ini bukan hanya sekadar praktik ritual, tetapi juga merupakan cerminan nilai-nilai seperti bakti, tanggung jawab, dan hubungan keluarga yang kuat.

3. **Budaya Eropa dan Afrika**: Di berbagai budaya Eropa, praktik penghormatan kepada leluhur bisa dilihat dalam tradisi peringatan dan mengenang orang-orang yang telah meninggal, seperti pada hari-hari tertentu. Di Afrika, penghormatan kepada leluhur sering kali terintegrasi dalam kehidupan sehari-hari, di mana para leluhur dianggap sebagai pelindung dan penuntun yang membantu menjaga harmoni dalam komunitas.

4. **Kesinambungan Tradisi**: Penghormatan leluhur berfungsi untuk menjaga kesinambungan tradisi dan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi. Ini memberikan rasa identitas yang kuat dan memperkuat ikatan sosial di dalam komunitas.

5. **Perbedaan dalam Persepsi**: Meskipun istilah "pemujaan" dapat membawa konotasi religius yang lebih kuat, penggunaan istilah "penghormatan" memberikan ruang untuk pengertian yang lebih luas mengenai hubungan antara yang masih hidup dan yang telah meninggal. Ini menekankan aspek pengakuan dan bakti, bukan sekadar hubungan religius.

Penggunaan istilah "penghormatan leluhur" memungkinkan pemahaman yang lebih nuansa tentang praktik ini, dan menunjukkan bagaimana nilai-nilai serta tradisi yang dijaga dapat berkontribusi pada keberlanjutan dan harmoni dalam masyarakat.
[2/10 19.37] Suhandono: Bangsa Romawi Kuno, seperti banyak kelompok masyarakat Mediterania, menganggap tubuh atau badan orang yang telah meninggal adalah kotor atau menimbulkan pencemaran. Selama periode Romawi Klasik, sering kali tubuh orang yang meninggal dikremasi dan abunya ditempatkan di sebuah makam di luar tembok kota. Banyak waktu dalam bulan Februari yang dikhususkan untuk pemurnnian, pendamaian, dan penghormatan atas mereka yang telah meninggal, terutama pada festival Parentalia selama 9 hari di mana pada saat itu suatu keluarga menghormati para leluhurnya. Keluarga tersebut mengunjungi pemakaman dan berbagi kue serta wine, keduanya dalam bentuk persembahan kepada yang telah meninggal dan sebagai hidangan makanan di antara mereka sendiri. Parentalia mendekati akhirnya pada tanggal 21 Februari dengan perayaan Feralia yang lebih serius, suatu festival publik atas kurban dan persembahan kepada Manes, roh-roh jahat yang mungkin ada pada orang yang telah meninggal dan memerlukan pendamaian.Salah satu frasa inskripsional yang paling umum pada epitaf Latin adalah Dis Manibus, disingkat D.M, "untuk para dewa Manes", yang terdapat bahkan pada beberapa batu nisan umat Kristen. Caristia, yang diperingati tanggal 22 Februari, merupakan suatu perayaan garis keluarga karena berkelanjutan hingga keturunannya masih hidup sekarang.

Suatu keluarga bangsawan Romawi menampilkan gambar-gambar leluhur di tablinium rumah mereka (domus). Beberapa sumber menunjukkan bahwa potret-potret ini adalah patung dada, sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa topeng kematian juga ditampilkan. Topeng-topeng tersebut, kemungkinan dimodelkan dari lilin atas wajah almarhum, merupakan bagian dari prosesi pemakaman ketika seorang kaum elit Romawi meninggal dunia. Pengiring jenazah profesional mengenakan topeng-topeng tersebut dan regalia dari leluhur orang yang meninggal saat jenazah tersebut dibawa dari rumah, melalui jalan-jalan, sampai ke tempat pemakaman.
[2/10 19.38] Suhandono: Penghormatan leluhur merupakan hal yang lazim di seluruh Afrika dan berperan sebagai dasar dari banyak agama. Hal ini sering ditambah dengan keyakinan akan adanya wujud tertinggi, tetapi doa dan/atau korban biasanya dipersembahkan kepada para leluhur yang mungkin menjadi semacam dewa kecil. Penghormatan leluhur tetap ada pada banyak masyarakat Afrika, terkadang dipraktikkan bersama dengan agama-agama yang dianut kemudian seperti Kekristenan (misalnya di Nigeria di kalangan suku Igbo) dan Islam (di kalangan berbeda dari orang Mandé dan Bamum) di sebagian besar benua tersebut.
[2/10 19.40] Suhandono: Di Korea, penghormatan leluhur disebut dengan istilah umum jerye (hangul: 제례; hanja: 祭禮) atau jesa (hangul: 제사; hanja: 祭祀). Contoh-contoh penting jerye misalnya Munmyo jerye dan Jongmyo jerye, yang dilakukan secara periodik setiap tahun untuk menghormati para cendekiawan Konfusian dan raja zaman kuno. Perayaan yang diadakan saat peringatan kematian seorang anggota keluarga itu disebut charye (차례), dan masih dipraktikkan sampai saat ini.

Sebagian besar umat Katolik, Buddhis, dan yang tak beragama mempraktikkan upacara leluhur, namun umat Protestan tidak. Larangan dari Gereja Katolik atas ritual leluhur dicabut pada tahun 1939, di mana Gereja Katolik secara resmi mengakui upacara leluhur sebagai suatu praktik sipil.

Upacara leluhur biasanya dibagi ke dalam tiga kategori:

Charye (차례, 茶禮) - upacara minum teh yang diadakan empat kali setahun pada hari-hari besar (Tahun Baru Korea, Chuseok)
Kije (기제, 忌祭) - upacara rumah tangga yang diadakan pada malam sebelum peringatan kematian seorang leluhur (기일, 忌日)
Sije (시제, 時祭; disebut juga 사시제 or 四時祭) - upacara musiman yang diadakan untuk para leluhur dari lima generasi di atasnya atau lebih (biasanya dilakukan setiap tahun pada bulan lunar kesepuluh)
[2/10 19.40] Suhandono: Penghomatan leluhur adalah salah satu aspek yang paling mempersatukan dalam budaya Vietnam, sebagai praktik dari semua orang Vietnam, terlepas dari afiliasi keagamaannya (Buddhis atau Katolik) mereka memiliki sebuah altar leluhur di rumah atau tempat usaha mereka.

Di Vietnam, orang-orang secara tradisi tidak memperingati kematian (sebelum pengaruh Barat), tetapi peringatan kematian orang yang dicintai selalu merupakan suatu acara penting. Selain pertemuan penting dari para anggota keluarga untuk suatu perjamuan dalam mengenang yang meninggal, batang dupa dibakar bersama dengan uang neraka, dan piring-piring besar berisi makanan sebagai persembahan di atas altar leluhur, yang mana biasanya terdapat foto atau plakat yang bertuliskan nama-nama almarhum.

Praktik dan persembahan ini sering dilakukan selama perayaan religius atau tradisi yang penting, memulai usaha baru, atau bahkan ketika seorang anggota keluarga membutuhkan bimbingan atau nasihat, dan merupakan suatu ciri penekanan budaya Vietnam sebagai wujud bakti.

Suatu ciri pembeda yang cukup signifkan dalam penghormatan leluhur Vietnam yakni perempuan secara tradisi diperbolehkan untuk berpartisipasi dan mendampingi pemimpin upacara leluhur, tidak seperti doktrin Konfusian Tionghoa yang hanya memperbolehkan keturunan laki-laki untuk melakukan ritual semacam itu.
[2/10 19.42] Suhandono: Penyembahan atau pemujaan leluhur tidak lagi dilakukan dalam Birma (Myanmar) zaman modern (kecuali dalam beberapa komunitas minoritas etnis) namun masih berbekas, seperti penyembahan Bo Bo Gyi (secara harfiah "buyut"), serta roh-roh penjaga lainnya seperti nat, yang mana semuanya mungkin merupakan sisa-sisa upacara bersejarah pemujaan leluhur.

Pemujaan leluhur dilakukan dalam istana kerajaan Birma pra-kolonial. Pada masa Wangsa Konbaung, gambar para raja yang telah meninggal (terbuat dari emas batangan) dan selir mereka disembah tiga kali setahun oleh keluarga kerajaan, selama Tahun Baru Burma (Thingyan), di awal dan akhir prapaskah Buddhis (Vassa). Gambar-gambar tersebut disimpan dalam perbendaharaannya dan disembah di Zetawunzaung (ဇေတဝန်ဆောင်, "Galeri Para Leluhur") bersama dengan sebuah kitab syair pujian.

Beberapa akademisi menghubungkan hilangnya pemujaan leluhur dengan pengaruh doktrin-doktrin agama Buddha tentang ketidakkekalan (anicca) dan penolakan atas 'diri' (anatta)
[2/10 19.43] Suhandono: Di negara-negara Katolik di Eropa (kemudian dilanjutkan dengan Gereja Anglikan di Inggris), 1 November (Hari Raya Semua Orang Kudus) hingga saat ini masih dikenal sebagai hari untuk menghormati mereka yang telah meninggal dan mereka yang telah dinyatakan sebagai santo/santa secara resmi oleh Gereja tersebut. 2 November (Hari Arwah), atau "Hari Orang Mati", adalah hari untuk mengenang semua umat beriman yang telah meninggal dunia. Pada hari tersebut, para keluarga pergi ke pemakaman untuk menyalakan lilin bagi kerabat mereka yang telah meninggal, menaruh bunga di atas makamnya, dan lain-lain, serta sering kali sebagai kesempatan berpiknik.

Malam sebelum Hari Raya Semua Orang Kudus —"All Hallows Eve" atau "Hallowe'en"— merupakan hari Katolik yang tidak resmi untuk mengenang kenyataan adanya neraka, berkabung bagi para jiwa yang jatuh ke tangan iblis, mengingat kembali cara-cara untuk menghindari neraka, dan sebagainya. Perayaan ini umumnya dirayakan di Amerika Serikat dan sebagian Britania Raya dalam suatu nuansa ketakutan dan kengerian sambil bersuka ria, serta ditandai dengan mengisahkan cerita hantu, api ungun, mengenakan kostum, dan membuat Jack-o'-lantern; di kalangan anak-anak melakukan "trick-or-treating", yakni berkeliling dari pintu ke pintu rumah tetangga untuk meminta permen.
[2/10 19.43] Suhandono: Di Cornwall dan Wales, festival leluhur pada musim gugur berlangsung sekitar tanggal 1 November. Festival tersebut di Cornwal dikenal dengan nama Kalan Gwav, dan di Wales namanya Calan Gaeaf. Festival-festival tersebut memiliki beberapa kemiripan dengan Samhain, suatu festival Gaelik yang lebih terkenal, yang mana merupakan asal mula perayaan Halloween modern.
[2/10 19.44] Suhandono: Selama festival Samhain, tanggal 1 November di Irlandia dan Skotlandia, orang yang telah meninggal diduga kembali ke dunia orang hidup; persembahan makanan dan penerangan diberikan kepada mereka.Pada hari festival tersebut, orang-orang zaman dahulu memadamkan api pada perapian di rumah mereka, berpartisipasi dalam suatu festival api unggun masyarakat, kemudian membawa pulang suatu nyala api dari api komunal tersebut dan menggunakannya untuk menyalakan kembali perapian di rumah mereka. Kebiasaan ini terus dilanjutkan dalam zaman modern hingga batas tertentu, baik di bangsa-bangsa Keltik maupun diasporanya. Penerangan di jendela, yang digunakan untuk memandu pulang orang yang telah meninggal, dibiarkan menyala sepanjang malam. Di Pulau Man festival tersebut dikenal sebagai "Sauin lama" atau Hop-tu-Naa
[2/10 19.45] Suhandono: Penghormatan Leluhur pada budaya Tionghoa (Hanzi =敬祖;hanyu pinyin =jìngzǔ) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan. Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat Tionghoa. Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak (孝, xiào) yang ditekankan oleh Kong Hu Cu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.
[2/10 19.47] Suhandono: Inti kepercayaan terhadap pemujaan leluhur adalah bahwa masih adanya "kehidupan" setelah kematian. Dipercaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po (魄), diasosiasikan dengan makam,dan komponen Yang, hun (魂), diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang dipajang pada altar penghormatan leluhur (sekarang sering kali digantikan dengan memajang foto). Po mengikuti tubuh ke dalam makam (ke pengadilan)dan hun tinggal dalam papan nama leluhur. Hun dan po tidaklah abadi dan perlu dipelihara (diberi makan) dengan persembahan, atau keduanya akan pergi ke akhirat (meskipun hun pergi ke surga terlebih dulu). Tidak seperti istilah yang digunakan bangsa barat, akhirat tidak memiliki konotasi negatif.

Keadaan pemujaan leluhur di Republik Rakyat Tiongkok modern dilaporkan mengalami penurunan pada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh rezim komunis (yang tidak ramah terhadap praktik keagamaan). Namun pada daerah pedesaan, dan juga Taiwan, pemujaan leluhur dan praktiknya masih biasa ditemukan
[2/10 19.48] Suhandono: Konfusius mengajarkan pentingnya memahami serta melaksanakan Lima Etika (Wu Lun). Lima Etika merupakan aturan dalam berinteraksi agar kehidupan masyarakat menjadi harmonis.[4] Kelima hubungan tersebut adalah:

Antara pemimpin dan rakyat
Antara ayah dan putra
Antara suami dan istri
Antara kakak dan adik
Antara yang lebih tua dan yang lebih muda
Semenjak masa hidup Konfusius hingga abad ke-20, kematian orang tua secara umum memiliki arti bahwa anak-anak mereka akan berkabung selama tiga tahun. Masa tiga tahun tersebut melambangkan tiga tahun pertama pada kehidupan anak-anak saat mereka dirawat dan dicintai secara penuh oleh orang tua mereka. Praktik perkabungan tersebut termasuk mengenakan baju goni, tidak mencukur rambut, makan bubur dua kali sehari, tinggal dalam gubuk berkabung yang didirikan di samping rumah. Dikisahkan bahwa setelah kematian Konfusius, para muridnya melakukan periode tiga tahun perkabungan ini untuk menunjukkan komitmen mereka pada ajaran dia.
[2/10 19.48] Suhandono: Praktik berkabung biasanya menggunakan tata cara yang terperinci, dan yang umumnya selalu ada adalah: Meratap sebagai penanda bahwa terjadi kematian di dalam keluarga, keluarga mengenakan pakaian putih pemakaman, memandikan jenasah, mempersembahkan barang-barang secara simbolis kepada jiwa yang meninggal (seperti uang dan makanan), menyiapkan dan memasang papan arwah, memanggil spesialis ritual (pendeta Tao atau Buddhis), memainkan musik atau membacakan doa untuk menemani jenasah dan menenangkan jiwa yang meninggal, menutup peti jenasah, menjauhkan peti dari masyarakat.[3] Terdapat kepercayaan bahwa keras-tidaknya ratapan yang dikeluarkan menggambarkan hubungan orang yang meratap dengan yang meninggal.

Jika orang yang meninggal berusia di bawah 80 tahun, semua perlengkapan (lilin, kain nama, taplak meja, dan sebagainya) menggunakan warna putih. Tetapi jika yang bersangkutan berusia lebih dari 80 tahun, peralatan yang digunakan sebagian berwarna merah untuk menandakan bahwa ia telah mengalami hidup yang panjang dan bahagia. Warna merah bagi masyarakat Tionghoa memiliki arti bahagia, sedangkan putih berarti berduka-cita.

Masyarakat Tionghoa tradisional juga membedakan antara keturunan dalam dan keturunan luar. Keturunan dalam adalah semua anak, cucu, cicit, dan buyut yang berasal dari anak pria; sementara keturunan luar berasal dari anak wanita. Anggota keluarga yang termasuk ke dalam keturunan dalam menggunakan ikat kepala berwarna putih yang dijahit dengan seperca kain goni, sedangkan anggota keluarga yang termasuk keturunan luar mengenakan ikat kepala putih yang dijahit dengan seperca kain merah.
[2/10 19.49] Suhandono: Menurut budaya tradisional Tionghoa, dikatakan bahwa terdapat dua hal penting yang harus dilakukan seseorang agar hidupnya dapat dikatakan sempurna; Pertama adalah memakamkan ayahnya, kedua adalah memakamkan ibunya. Pemakaman dianggap menjadi bagian dalam perjalanan hidup normal sebuah keluarga, dan menjadi pemersatu keluarga-keluarga dari generasi ke generasi. Tujuan utamanya adalah melindungi jiwa yang meninggal dari roh jahat, mengarahkan jiwa Yin ke bumi, dan jiwa Yang menuju tempat para leluhur. Pemakaman memastikan jiwa yang meninggal merasa nyaman dan tenteram, serta memberikan peruntungan bagus bagi para keturunannya. Saat orang yang terkasih meninggal, jenasahnya dimandikan dan dikenakan pakaian pemakaman (atau "pakaian panjang umur" yang melambangkan umur panjang bagi jiwa
[2/10 19.50] Suhandono: Profesional Tao atau Buddhis juga dapat dipanggil dalam proses pemakaman untuk mengusir roh-roh jahat dan memberi energi bagus kepada yang meninggal. Keluarga akan meletakkan papan leluhur di atas altar pada rumah mereka di antara papan-papan arwah leluhur yang lainnya. Tindakan tersebut melambangkan persatuan para leluhur, serta demi kepentingan garis keturunan keluarga. Hio dinyalakan di depan altar setiap harinya, dan persembahan seperti makanan favorit, minuman, dan uang arwah (kimcoa) dipersembahkan setiap bulannya. Uang arwah adalah uang kertas yang dibakar (sehingga dapat diterima jiwa leluhur dan mereka gunakan di akhirat); pada zaman sekarang juga disediakan bentuk kartu kredit arwah, televisi arwah, sepeda arwah, dan sebagainya.

Semakin kaya sebuah keluarga, mereka biasanya juga akan semakin lama menunda masa penguburan; peti mati akan ditempatkan pada ruangan rumah yang disediakan untuk waktu yang lebih lama. Contohnya adalah, sebuah pemakaman yang menguntungkan dapat terjadi beberapa tahun setelah penguburan, tulang-belulangnya digali, dicuci, dikeringkan, dan disimpan dalam guci tanah liat (keramik). Setelah selang beberapa waktu, isinya akan dimakamkan kembali untuk terakhir kalinya pada lokasi yang telah dipilih oleh seorang ahli feng shui
[2/10 19.50] Suhandono: Para keturunan orang yang meninggal akan memakamkan leluhur mereka bersama dengan barang-barang yang mereka harapkan akan dibawa ke akhirat. Beberapa keluarga kerajaan meletakkan bejana perunggu, tulang orakel, serta korban manusia atau binatang di dalam makam. Semua persembahan tersebut dipandang sebagai segala sesuatu yang akan dibutuhkan jiwa tersebut di akhirat dan sebagai wujud bakti kepada leluhur. Persembahan yang paling umum adalah membakar hio dan lilin, dan mempersembahkan arak serta makanan. Seorang medium shi (尸) adalah perwakilan persembahan dari keluarga orang yang meninggal semenjak masa Dinasti Zhou (1045 SM-256 SM). Selama upacara shi, roh orang yang meninggal akan memasuki sang medium yang selanjutnya akan makan dan minum persembahan serta menyampaikan pesan spiritual.
[2/10 19.51] Suhandono: Persembahan diberikan secara berkala oleh anak-cucu kepada leluhur yang telah meninggal. Festival seperti Cheng Beng memerlukan persembahan seperti makanan, buah-buahan, dupa, dan lilin.
[2/10 19.51] Suhandono: Masyarakat Tionghoa biasa mempersembahkan uang arwah atau uang orang mati. Jinzhi adalah bukanlah uang yang digunakan oleh manusia di dunia, melainkan lembaran kertas yang melambangkan uang. Saat dibakar di altar atau di makam, dipercaya bahwa nilainya akan ditransfer kepada leluhur di dunia akhirat. Terdapat dua jenis uang arwah, yaitu uang emas dan uang perak. Uang emas digunakan sebagai persembahan untuk para dewa, sementara uang perak digunakan sebagai persembahan untuk leluhur.
[2/10 19.51] Suhandono: Doa biasanya dilakukan pada altar rumah. Pria tertua dalam keluarga akan berbicara mewakili seluruh anggota keluarganya dalam doa harian. Ritual ini sangatlah penting karena adanya kepercayaan bahwa jika mereka melupakan garis keturunan mereka, mereka akan dihantui atau menjadi roh gentayangan saat meninggal nanti
[2/10 19.52] Suhandono: Feng Shui dalam pemakaman berfungsi untuk mengatur aliran chi berdasarkan posisi makam. Aliran chi yang buruk akan menyebabkan arwah menjadi tidak tenang. Arwah tersebut dapat kembali untuk menghantui keturunannya, sehingga lokasi yang memiliki feng shui bagus selalu dipilih untuk memakamkan leluhur
[2/10 19.53] Suhandono: Qingming ("jernih-terang") merupakan festival membersihkan makam yang biasanya jatuh pada tanggal 4 April. Festival ini merupakan festival menyambut musim semi, yang dianggap sebagai waktu pembaharuan dimana keluarga yang telah meninggal akan berkumpul kembali dengan yang masih hidup. Saat festival ini berlangsung, anggota keluarga akan menjenguk makam leluhur mereka untuk membersihkan (menyapu tanah dan mencabuti rumput) kemudian menghiasnya kembali (menanam bunga segar atau menambahkan ornamen baru) sebagai cara untuk merayakan masa kehidupan leluhur yang telah meninggal daripada menangisinya. Perhatian dan pelayanan seluruh keluarga umumnya difokuskan pada makam anggota keluarga yang paling terakhir meninggal, atau leluhur yang paling menonjol, misalnya leluhur yang mengawali garis keturunan keluarga
[2/10 19.53] Suhandono: Pada bulan ke tujuh penanggalan Imlek, dipercaya bahwa gerbang antara akhirat terbuka bagi para roh untuk memasuki dunia manusia serta melakukan apa yang mereka inginkan. Selama masa ini, masyarakat biasanya mempersembahkan makanan atau (uang arwah) agar roh-roh tersebut tenang. Uang arwah dipersembahkan kepada para leluhur diiringi rasa bakti. Roh-roh yang tidak diberi persembahan oleh keturunannya akan menjadi kelaparan dan membawa kesialan bagi keluarganya. Festival ini sangat penting karena selama periode ini, alam manusia dipenuhi roh-roh bergentayangan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

solfeggio

penjelasan kundalini golden flower level 33

kgf 33