caraka balik

[24/3 04.18] Suhandono: Arti caraka walik:
Nga – Ngracut busananing
manungso – melepaskan
egoisme pribadi, manusia.
Tha – Tukul saka niat – sesuatu
harus dimulai, tumbuh dari
niatan.
Ba – Bayu sejati kang andalani -
menyelaraskan diri pada gerak
alam.
Ga – Guru sejati sing muruki -
belajar pada guru nurani
Ma – Madep mantep
manembah mring Ilahi – yakin,
mantap dalam menyembah Ilahi
Nya – Nyata tanpa mata, ngerti
tanpa diuruki – memahami
kodrat kehidupan
Ya – Yakin marang samubarang
tumindak kang dumadi – yakin
atas titah / kodrat Illahi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
- selalu berusaha menyatu,
memahami kehendak Nya
Dha – Dhuwur wekasane endek
tumindak kang dumadi – yakin
atas titah / kodrat Illahi
Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
- selalu berusaha menyatu,
memahami kehendak Nya
Dha – Dhuwur wekasane endek
wiwitane – Untuk bisa diatas
tentu dimulai dari dasar
Pa – Papan kang tanpa kiblat -
Hakekat Allah yang ada disegala
arah
La – Lir handaya paseban jati -
mengalirkan hidup semata pada
tuntunan Illahi
Wa – Wujud hana tan kena
kinira – ilmu manusia hanya
terbatas namun implikasinya
bisa tanpa batas
Sa – Sifat ingsun handulu
sifatullah- membentuk kasih
sayang seperti kasih Tuhan
Ta – Tatas, tutus, titis, titi lan
wibawa – mendasar, totalitas,
satu visi, ketelitian dalam
memandang hidup
Da – Dumadining dzat kang
tanpa winangenan – menerima
hidup apa adanya
Ka – Karsaningsun
memayuhayuning bawana -
hasrat diarahkan untuk
kesajetraan alam
Ra – Rasaingsun handulusih -
rasa cinta sejati muncul dari
cinta kasih nurani
Ca – Cipta wening, cipta
mandulu, cipta dadi-satu arah
dan tujuan pada Yang Maha
Tunggal
Na – Nur candra,gaib
candra,warsitaning candara-
pengharapan manusia hanya
selalu ke sinar Illahi
Ha – Hana hurip wening suci -
adanya hidup adalah kehendak
dari yang Maha Suci
[24/3 04.25] Suhandono: Ajaran Jawa yang membahas
adanya RUH sebagai limpahan
dan pancaran emanasi Dzat
Tuhan, ada dalam aksara
makna HANACARAKA:
HA : HANANIRA SEJATINING
WAHANANING HYANG.
NA : NADYAN NORA KASAT MATA
PASTI ANA.
CA : CAREMING HYANG YEKTI
TAN CETHA WINECA.
RA : RASAKENA RAKETE LAN
ANGGANIRA.
KA : KAWRUHANA JIWANIRA
KONGSI KURANG WEWEKA.
DA : DADI SASAR YEN SIRA NORA
WASPADA.
TA : TAMATNA PRABANING
HYANG SUNG SASMITA.
SA : SASMITANE KANG KONGSI
BISA KARASA.
WA : WASPADAKNA WEWADI
KANG SIRA GAWA.
LA : LALEKNA YEN SIRA
TUMEKENG LALIS.
PA : PATI SASAR TAN WUN
MANGGYA PAPA.
DHA : DHASAR BEDA KANG WUS
KALIS ING GODHA.
JA : JANGKANE MUNG JENAK
JENJEMING JIWARAGA.
YA : YATNANA LIYEP LUYUTING
PRALAYA.
NYA : NYATA SONYA NYENYET
LABETING KADONYAN.
MA : MADYENG NGALAM
PANGRANTUNAN AYWA SAMAR.
GA : GAYUHANING TANNA LIYAN
JUNG SARWA ARGA.
BA : BALI MURBA MISESA ING
NJERO NJABA.
THA : THAKULANE WIDADARJA
TEBAH NISTHA.
NGA : NGARAH ING REH MARDI-
MARDININGRAT
RUH ADALAH GURU SEJATI YANG
SETIA MEMBERIKAN
‘PIWULANG SEJATINING
URIP’
[24/3 04.31] Suhandono: Manungsa kang murba wisesa maring uripe, 
najan polah ning tanpo obah, 
najan muni ning tanpo muna, 
najan obah ning tanpa rasa, 
najan krasa ning tanpa ngrasa,
 snajan ngrasa ning ana hneng,
 hneng ana ing sajeroning hning utawi wening, 
mula piyambake tansah amukti,
 jeneng lan langgeng tan winengku warna, anggeng tan kawengkang rupa, 
langgeng jati uripe, 
jenjem jinem laras rasa ne, 
ayem tentrem tuwin urip mati ne
[24/3 04.33] Suhandono: Filosofi Dewa Ruci
Kiranya perlu dipahami bahwa
tujuan hakiki dari kejawen
adalah berusaha mendapatkan
ilmu sejati untuk mencapai
hidup sejati, dan berada dalam
keadaan harmonis hubungan
antara kawula (manusia)dan
Gusti (Pencipta) (manunggaling
kawula Gusti )/ pendekatan
kepada Yang Maha Kuasa secara
total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai
oleh setiap orang yang percaya
kepada Sang Pencipta, yang
mempunyai moral yang baik,
bersih dan jujur. beberapa laku
harus dipraktekkan dengan
kesadaran dan ketetapan hati
yang mantap.Pencari dan
penghayat ilmu sejati
diwajibkan untuk melakukan
sesuatu yang berguna bagi
semua orang serta melalui
kebersihan hati dan
tindakannya. Cipta, rasa, karsa
dan karya harus baik, benar, suci
dan ditujukan untuk mamayu
hayuning bawono. Kejawen
merupakan aset dari orang Jawa
tradisional yang berusaha
memahami dan mencari makna
dan hakekat hidup yang
mengandung nilai-nilai spiritual
yang tinggi.
Tindakan tersebut dibagi tiga
bagian yaitu tindakan simbolis
dalam religi, tindakan simbolis
dalam tradisi dan tindakan
simbolis dalam seni. Tindakan
simbolis dalam religi, adalah
contoh kebiasaan orang Jawa
yang percaya bahwa Tuhan
adalah zat yang tidak mampu
dijangkau oleh pikiran manusia,
karenanya harus di simbolkan
agar dapat di akui
keberadaannya misalnya dengan
menyebut Tuhan dengan Gusti
Ingkang Murbheng Dumadi,
Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan
sebagainya. Tindakan simbolis
dalam tradisi dimisalkan dengan
adanya tradisi upacara kematian
yaitu medoakan orang yang
meninggal pada tiga hari, tujuh
hari, empatpuluh hari, seratus
hari, satu tahun, dua tahun ,tiga
tahun, dan seribu harinya
setelah seseorang meninggal
( tahlilan ). Dan tindakan
simbolis dalam seni dicontohkan
dengan berbagai macam warna
yang terlukis pada wajah
wayang kulit; warna ini
menggambarkan karakter dari
masing-masing tokoh dalam
wayang.
Perkembangan budaya jawa
yang mulai tergilas oleh
perkembangan teknologi yang
mempengaruhi pola pikir dan
tindakan orang jawa dalam
kehidupan. Maka orang mulai
berfikir bagaimana bisa
membuktikan hal gaib secara
empiris tersebut dengan
menggunakan berbagai macam
metode tanpa mengindahkan
unsur kesakralan. Bahkan
terkadang kepercayaan itu
kehilangan unsur kesakralannya
karena dijadikan sebagai obyek
exploitasi dan penelitian.
Kebiasaan orang Jawa yang
percaya bahwa segala sesuatu
adalah simbol dari hakikat
kehidupan, seperti syarat
sebuah rumah harus memiliki
empat buah soko guru (tiang
penyangga) yang
melambangkan empat unsur
alam yaitu tanah, air, api, dan
udara, yang ke empatnya
dipercaya akan memperkuat
rumah baik secara fisik dan
mental penghuni rumah
tersebut. Namun dengan adanya
teknologi konstruksi yang
semakin maju, keberadaan soko
guru itu tidak lagi menjadi
syarat pembangunan
rumah.Dengan analisa tersebut
dapat diperkirakan bagaimana
nantinya faham simbolisme
akan bergeser dari budaya jawa.
Tapi bahwa simbolisme tidak
akan terpengaruh oleh
kehidupan manusia tapi
kehidupan manusialah yang
tergantung pada simbolisme.
Dan sampai kapanpun
simbolisme akan terus
berkembang mengikuti
berputarnya cakra panggilingan.
Orang Jawa menganggap cerita
wayang merupakan cermin dari
pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan
cerita asli wayang Jawa
memberikan gambaran yang
jelas mengenai hubungan
harmonis antara Kawula dan
Gusti, yang diperagakan oleh
Bima atau Aria Werkudara dan
Dewa Ruci.Dalam bentuk
kakawin (tembang) oleh
Pujangga Surakarta,Yosodipuro
berjudul:"Serat Dewaruci
Kidung" yang disampaikan
dalam bentuk macapat,
berbahasa halus dan sesuai
rumus-rumus tembang, dengan
bahasa Kawi, Sanskerta dan
Jawa Kuna.
Intisari cerita tersebut yaitu
bahwa pihak kaum Kurawa
dengan dinegeri Amarta, ingin
menjerumuskan pihak Pandawa
dinegeri Astina,(yang
sebenarnya adalah:bersaudara)
ke dalam kesengsaraan, melalui
perantaraan guru Durna. Sena
yang juga adalah murid guru
Durno diberikan ajaran: bahwa
dalam mencapai kesempurnaan
demi kesucian badan ,Sena
diharuskan mengikuti perintah
sang Guru untuk mencari air suci
penghidupan ke hutan
Tibrasara. Sena mengikuti
perintah gurunya dan yakin
tidak mungkin teritipu dan
terbunuh oleh anjuran Gurunya,
dan tetap berniat pergi
mengikuti perintah sang
Guru,walaupun sebenarnya ada
niat sang Guru Durno untuk
mencelakaannya.
Diceritakan Pada saat di negeri
Amarta ,Prabu Suyudana/raja
Mandaraka/prabu Salya sedang
rapat membahas bagaimana
caranya Pandawa dapat ditipu
secara halus agar musnah,
sebelum terjadinya perang
Baratayuda, bersama dengan
Resi Druna, Adipati Karna, Raden
Suwirya, Raden Jayasusena,
Raden Rikadurjaya, Adipati dari
Sindusena, Jayajatra, Patih
Sengkuni, Bisma, Dursasana, dan
lain-lainnya termasuk para
sentana/pembesar andalan
lainnya.
Kemudian Durna memberi
petunjuk kepada Sena, bahwa
jika ia telah menemukan air suci
itu ,maka akan berarti dirinya
mencapai kesempurnaan,
menonjol diantara sesama
makhluk,dilindungi ayah-ibu,
mulia, berada dalam triloka,akan
hidup kekal adanya. Selanjutnya
dikatakan, bahwa letak air suci
ada di hutan Tibrasara, dibawah
Gandawedana, di gunung
Candramuka, di dalam gua.
Kemudian setelah ia mohon
pamit kepada Druna dan prabu
Suyudana, lalu keluar dari
istana, untuk mohon pamit,
mereka semua tersenyum,
membayangkan Sena berhasil
ditipu dan akan hancur lebur
melawan dua raksasa yang
tinggal di gua itu, sebagai rasa
optimisnya ,untuk sementara
merekamerayakan dengan
bersuka-ria, pesta makan
minum sepuas-puasnya.
Setelah sampai di gua gunung
Candramuka, air yang dicari
ternyata tidak ada, lalu gua
disekitarnya diobrak-abrik.
Raksasa Rukmuka dan
Rukmakala yang berada di gua
terkejut, marah dan mendatangi
Sena. Namun walau telah
dijelaskan niat kedatangannya,
kedua raksasa itu karena merasa
terganggu akibat ulah Sena,
tetap saja mengamuk. Terjadi
perkelahian .......Namun dalam
perkelahian dua Raksaksa
tersebut kalah, ditendang,
dibanting ke atas batu dan
meledak hancur lebur.
Kemudian Sena mengamuk dan
mengobrak-abrik lagi sampai
lelah,dalam hatinya ia bersedih
hati dan berfikir bagaimana
mendapatkan air suci
tersebut.Karena
kelelahan,kemudian ia berdiri
dibawah pohon beringin.
Setibanya di serambi Astina,
saat lengkap dihadiri Resi Druna,
Bisma, Suyudana, Patih
Sangkuni, Sindukala, Surangkala,
Kuwirya Rikadurjaya,
Jayasusena, lengkap bala
Kurawa, dan lain-lainnya,
terkejut....! atas kedatangan
Sena. Ia memberi laporan
tentang perjalannya dan
dijawab oleh Sang Druna :bahwa
ia sebenarnya hanya diuji, sebab
tempat air yang dicari,
sebenarnya ada di tengah
samudera. Suyudana juga
membantu bicara untuk
meyakinkan Sena.
Karena tekad yang kuat maka
Senapun nekat untuk pergi
lagi....., yang sebelumnya ia
sempat mampir dahulu ke
Ngamarta.(tempat para
kerabatnya berada) Sementara
itu di Astina keluarga Sena yang
mengetahui tipudaya pihak
Kurawa mengirim surat kepada
prabu Harimurti/Kresna di
Dwarawati, yang dengan
tergesa-gesa bersama bala
pasukan datang ke Ngamarta.
Setelah menerima penjelasan
dari Darmaputra, Kresna
mengatakan bahwa janganlah
Pandawa bersedih, sebab tipu
daya para Kurawa akan
mendapat balasan dengan
jatuhnya bencana dari dewata
yang agung. Ketika sedang asyik
berbincang-bincang, datanglah
Sena, yang membuat para
Pandawa termasuk Pancawala,
Sumbadra, Retna Drupadi dan
Srikandi, dan lain-lainnya,
senang dan akan mengadakan
pesta. Namun tidak disangka,
karena Sena ternyata
melaporkan bahwa ia akan
meneruskan pencarian air suci
itu, yaitu ke tengah samudera.
Nasehat dan tangisan, termasuk
tangisan semua sentana laki-laki
dan perempuan, tidak
membuatnya mundur.
Sena berangkat pergi, tanpa
rasa takut keluar masuk hutan,
naik turun gunung, yang
akhirnya tiba di tepi laut. Sang
ombak bergulung-gulung
menggempur batu karang
bagaikan menyambut dan
tampak kasihan kepada yang
baru datang, bahwa ia di tipu
agar masuk ke dalam samudera,
topan datang juga riuh
menggelegar, seakan
mengatakan bahwa Druna
memberi petunjuk sesat dan
tidak benar.
Bagi Sena, lebih baik mati dari
pada pulang menentang sang
Maharesi, walaupun ia tidak
mampu masuk ke dalam air, ke
dasar samudera. Maka akhirnya
ia berpasrah diri, tidak merasa
takut, sakit dan mati memang
sudah kehendak dewata yang
agung, karena sudah
menyatakan kesanggupan
kepada Druna dan prabu
Kurupati, dalam mencari Tirta
Kamandanu, masuk ke dalam
samudera.
Dengan suka cita ia lama
memandang laut dan keindahan
isi laut, kesedihan sudah
terkikis, menerawang tanpa
batas, lalu ia memusatkan
perhatian tanpa memikirkan
marabahaya, dengan semangat
yang menyala-nyala mencebur
ke laut, tampak
kegembiraannya, dan tak lupa
digunakannya ilmu Jalasengara,
agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara
anakan, pemangsa ikan di laut,
wajah liar dan ganas, berbisa
sangat mematikan, mulut bagai
gua, taring tajam bercahaya,
melilit Sena sampai hanya
tertinggal lehernya,
menyemburkan bisa bagai air
hujan. Sena bingung dan
mengira cepat mati, tapi saat
lelah tak kuasa meronta, ia
teringat segera menikamkan
kukunya, kuku Pancanaka,
menancap di badan naga, darah
memancar deras, naga besar itu
mati, seisi laut bergembira.
Sementara itu Pandawa
bersedih hati dan menangis
memohon penuh iba, kepada
prabu Kresna. Lalu dikatakan
oleh Kresna, bahwa Sena tidak
akan meninggal dunia, bahkan
mendapatkan pahala dari
dewata yang nanti akan datang
dengan kesucian, memperoleh
cinta kemuliaan dari Hyang
Suksma Kawekas, diijinkan
berganti diri menjadi batara
yang berhasil menatap dengan
hening. Para saudaranya tidak
perlu sedih dan cemas.
Kembali dikisahkan Sang
Wrekudara yang masih di
samudera, ia bertemu dengan
dewa berambut panjang, seperti
anak kecil bermain-main di atas
laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia
berbicara :"Sena apa kerjamu,
apa tujuanmu, tinggal di laut,
semua serba tidak ada tak ada
yang dapat di makan, tidak ada
makanan, dan tidak ada pakaian.
Hanya ada daun kering yang
tertiup angin, jatuh didepanku,
itu yang saya makan". Dikatakan
pula :"Wahai Wrekudara, segera
datang ke sini, banyak
rintangannya, jika tidak mati-
matian tentu tak akan dapat
sampai di tempat ini, segalanya
serba sepi. Tidak terang dan
pikiranmu memaksa, dirimu
tidak sayang untuk mati,
memang benar, disini tidak
mungkin ditemukan".
"Kau pun keturunan Sang Hyang
Pramesthi, Hyang Girinata, kau
keturunan dari Sang Hyang
Brama asal dari para raja,
ayahmu pun keturunan dari
Brama, menyebarkan para raja,
ibumu Dewi Kunthi, yang
memiliki keturunan, yaitu sang
Hyang Wisnu Murti. Hanya
berputra tiga dengan ayahmu,
Yudistira sebagai anak sulung,
yang kedua dirimu, sebagai
penengah adalah Dananjaya,
yang dua anak lain dari
keturunan dengan Madrim,
genaplah Pandawa,
kedatanganmu disini pun juga
atas petunjuk Dhang Hyang
Druna untuk mencari air
Penghidupan berupa air jernih,
karena gurumu yang memberi
petunjuk, itulah yang kau
laksanakan, maka orang yang
bertapa sulit menikmati
hidupnya", lanjut Dewa Ruci.
Kemudian dikatakan :"Jangan
pergi bila belum jelas
maksudnya, jangan makan bila
belum tahu rasa yang dimakan,
janganlah berpakaian bila belum
tahu nama pakaianmu. Kau bisa
tahu dari bertanya, dan dengan
meniru juga, jadi dengan
dilaksanakan, demikian dalam
hidup, ada orang bodoh dari
gunung akan membeli emas,
oleh tukang emas diberi kertas
kuning dikira emas mulia.
Demikian pula orang berguru,
bila belum paham, akan tempat
yang harus disembah".
Wrekudara masuk tubuh Dewa
Ruci menerima ajaran tentang
Kenyataan "Segeralah kemari
Wrekudara, masuklah ke dalam
tubuhku", kata Dewa Ruci.
Sambil tertawa sena
bertanya :"Tuan ini bertubuh
kecil, saya bertubuh besar, dari
mana jalanku masuk, kelingking
pun tidak mungkin
masuk".Dewa Ruci tersenyum
dan berkata lirih:"besar mana
dirimu dengan dunia ini, semua
isi dunia, hutan dengan gunung,
samudera dengan semua isinya,
tak sarat masuk ke dalam
tubuhku".
Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena
masuk ke dalam tubuhnya
melalui telinga kiri. Dan
tampaklah laut luas tanpa tepi,
langit luas, tak tahu mana utara
dan selatan, tidak tahu timur
dan barat, bawah dan atas,
depan dan belakang. Kemudian,
terang, tampaklah Dewa Ruci,
memancarkan sinar, dan
diketahui lah arah, lalu
matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang
tampak oleh Sena, yaitu hitam,
merah kuning dan putih. Lalu
berkatalah Dewa Ruci: "Yang
pertama kau lihat cahaya,
menyala tidak tahu namanya,
Pancamaya itu, sesungguhnya
ada di dalam hatimu, yang
memimpin dirimu, maksudnya
hati, disebut muka sifat, yang
menuntun kepada sifat lebih,
merupakan hakikat sifat itu
sendiri. Lekas pulang jangan
berjalan, selidikilah rupa itu
jangan ragu, untuk hati tinggal,
mata hati itulah, menandai pada
hakikatmu, sedangkan yang
berwarna merah, hitam, kuning
dan putih, itu adalah
penghalang hati.
Yang hitam kerjanya marah
terhadap segala hal, murka,
yang menghalangi dan
menutupi tindakan yang baik.
Yang merah menunjukkan nafsu
yang baik, segala keinginan
keluar dari situ, panas hati,
menutupi hati yang sadar
kepada kewaspadaan. Yang
kuning hanya suka merusak.
Sedangkan yang putih berarti
nyata, hati yang tenang suci
tanpa berpikiran ini dan itu,
perwira dalam kedamaian.
Sehingga hitam, merah dan
kuning adalah penghalang
pikiran dan kehendak yang
abadi, persatuan Suksma Mulia.
Lalu Wrekudara melihat, cahaya
memancar berkilat, berpelangi
melengkung, bentuk zat yang
dicari, apakah gerangan itu ?!
Menurut Dewa Ruci, itu bukan
yang dicari (air suci), yang
dilihat itu yang tampak berkilat
cahayanya, memancar bernyala-
nyala, yang menguasai segala
hal, tanpa bentuk dan tanpa
warna, tidak berwujud dan tidak
tampak, tanpa tempat tinggal,
hanya terdapat pada orang-
orang yang awas, hanya berupa
firasat di dunia ini, dipegang
tidak dapat, adalah Pramana,
yang menyatu dengan diri tetapi
tidak ikut merasakan gembira
dan prihatin, bertempat tinggal
di tubuh, tidak ikut makan dan
minum, tidak ikut merasakan
sakit dan menderita, jika
berpisah dari tempatnya, raga
yang tinggal, badan tanpa daya.
Itulah yang mampu merasakan
penderitaannya, dihidupi oleh
suksma, ialah yang berhak
menikmati hidup, mengakui
rahasia zat.
Kehidupan Pramana dihidupi
oleh suksma yang menguasai
segalanya, Pramana bila mati
ikut lesu, namun bila hilang,
kehidupan suksma ada. Sirna
itulah yang ditemui, kehidupan
suksma yang sesungguhnya,
Pramana Anresandani.
Jika ingin mempelajari dan
sudah didapatkan, jangan punya
kegemaran, bersungguh-
sungguh dan waspada dalam
segala tingkah laku, jangan
bicara gaduh, jangan bicarakan
hal ini secara sembunyi-
sembunyi, tapi lekaslah
mengalah jika berselisih, jangan
memanjakan diri, jangan lekat
dengan nafsu kehidupan tapi
kuasailah.
Tentang keinginan untuk mati
agar tidak mengantuk dan tidak
lapar, tidak mengalami
hambatan dan kesulitan, tidak
sakit, hanya enak dan
bermanfaat, peganglah dalam
pemusatan pikiran, disimpan
dalam buana, keberadaannya
melekat pada diri, menyatu
padu dan sudah menjadi kawan
akrab. Sedangkan Suksma Sejati,
ada pada diri manusia, tak dapat
dipisahkan, tak berbeda dengan
kedatangannya waktu dahulu,
menyatu dengan kesejahteraan
dunia, mendapat anugerah yang
benar, persatuan manusia/
kawula dan pencipta/Gusti.
Manusia bagaikan wayang,
Dalang yang memainkan segala
gerak gerik dan berkuasa antara
perpaduan kehendak, dunia
merupakan panggungnya, layar
yang digunakan untuk
memainkan panggungnya.
Penerima ajaran dan nasehat ini
tidak boleh menyombongkan
diri, hayati dengan sungguh-
sungguh, karena nasehat
merupakan benih. Namun jika
ditemui ajaran misalnya kacang
kedelai disebar di bebatuan
tanpa tanah tentu tidak akan
dapat tumbuh, maka jika
manusia bijaksana, tinggalkan
dan hilangkan, agar menjadi
jelas penglihatan sukma, rupa
dan suara. Hyang Luhur menjadi
badan Sukma Jernih, segala
tingkah laku akan menjadi satu,
sudah menjadi diri sendiri,
dimana setiap gerak tentu juga
merupakan kehendak manusia,
terkabul itu namanya, akan
segala keinginan, semua sudah
ada pada manusia, semua jagad
ini karena diri manusia, dalam
segala janji janganlah ingkar.
Jika sudah paham akan segala
tanggung jawab, rahasiakan dan
tutupilah. Yang terbaik, untuk
disini dan untuk disana juga,
bagaikan mati di dalam hidup,
bagaikan hidup dalam mati,
hidup abadi selamanya, yang
mati itu juga. Badan hanya
sekedar melaksanakan secara
lahir, yaitu yang menuju pada
nafsu.
Wrekudara setelah mendengar
perkataan Dewa Ruci, hatinya
terang benderang, menerima
dengan suka hati, dalam hati
mengharap mendapatkan
anugerah wahyu sesungguhnya.
Dan kemudian dikatakan oleh
Dewa Ruci :"Sena ketahuilah
olehmu, yang kau kerjakan,
tidak ada ilmu yang
didatangkan, semua sudah kau
kuasai, tak ada lagi yang dicari,
kesaktian, kepandaian dan
keperkasaan, karena
kesungguhan hati ialah dalam
cara melaksanakan.
Dewa Ruci selesai
menyampaikan ajarannya,
Wrekudara tidak bingung dan
semua sudah dipahami, lalu
kembali ke alam kemanusiaan,
gembira hatinya, hilanglah
kekalutan hatinya, dan Dewa
Ruci telah sirna dari mata,
Wrekudara lalu mengingat,
banyak yang didengarnya
tentang tingkah para Pertapa
yang berpikiran salah, mengira
sudah benar, akhirnya tak
berdaya, dililit oleh
penerapannya, seperti
mengharapkan kemuliaan,
namun akhirnya tersesat dan
terjerumus.
Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak
akan berhasil, kematian seolah
dipaksakan, melalui
kepertapaannya, mengira dapat
mencapai kesempurnaan
dengan cara bertapa tanpa
petunjuk, tanpa pedoman
berguru, mengosongkanan
pikiran, belum tentu akan
mendapatkan petunjuk yang
nyata. Tingkah seenaknya,
bertapa dengan merusak tubuh
dalam mencapai kamuksan,
bahkan gagallah bertapanya itu.
Guru yang benar, mengangkat
murid/cantrik, jika memberi
ajaran tidak jauh tempat
duduknya, cantrik sebagai
sahabatnya, lepas dari
pemikiran batinnya,
mengajarkan wahyu yang
diperoleh. Inilah keutamaan
bagi keduanya.
Tingkah manusia hidup
usahakan dapat seperti wayang
yang dimainkan di atas
panggung, di balik layar ia
digerak-gerakkan, banyak
hiasan yang dipasang, berlampu
panggung matahari dan
rembulan, dengan layarnya alam
yang sepi, yang melihat adalah
pikiran, bumi sebagai tempat
berpijak, wayang tegak
ditopang orang yang
menyaksikan, gerak dan
diamnya dimainkan oleh Dalang,
disuarakan bila harus berkata-
kata, bahwa itu dari Dalang
yang berada dibalik layar,
bagaikan api dalam kayu,
berderit oleh tiupan angin, kayu
hangus mengeluarkan asap,
sebentar kemudian
mengeluarkan api yang berasal
dari kayu, ketahuilah asal
mulanya, semuanya yang
tergetar, oleh perlindungan jati
manusia, yang yang kemudian
sebagai rahasia.
Kembali ke Negeri Ngamarta
Tekad yang sudah sempurna,
dengan penuh semangat, Raden
Arya Wrekudara kemudian
pulang dan tiba ke negerinya,
Ngamarta, tak berpaling
hatinya, tidak asing bagi dirinya,
sewujud dan sejiwa, dalam
kenyataan ditutupi dan
dirahasiakan, dilaksanakan
untuk memenuhi kesatriaannya.
Permulaan jagad raya, kelahiran
batin ini, memang tidak
kelihatan, yang bagaikan sudah
menyatu, seumpama suatu
bentukan, itulah perjalanannya.
Bersamaan dengan kedatangan
Sena, di Ngamarta sedang
berkumpul para saudaranya
bersama Sang Prabu Kresna,
yang sedang membicarakan
kepergian Sena, cara masuk
dasar samudera. Maka
disambutlah ia, dan saat ditanya
oleh Prabu Yudistira mengenai
perjalanan tugasnya, ia
menjawab bahwa perjalanannya
itu dicurangi, ada dewa yang
memberi tahu kepadanya,
bahwa di lautan itu sepi,tidak
ada air penghidupan. Gembira
mendengar itu, lalu Kresna
berkata :"Adikku ketahuilah
nanti, jangan lupa segala
sesuatu yang sudah terjadi ini".
MAKNA AJARAN DEWA RUCI
- Pencarian air suci Prawitasari
Guru Durna memberitahukan
Bima untuk menemukan air suci
Prawitasari. Prawita dari asal
kata Pawita artinya bersih, suci;
sari artinya inti. Jadi Prawitasari
pengertiannya adalah inti atau
sari dari pada ilmu suci.
- Hutan Tikbrasara dan Gunung
Reksamuka
Air suci itu dikatakan berada
dihutan Tikbrasara, dilereng
Gunung Reksamuka. Tikbra
artinya rasa prihatin; sara
berarti tajamnya pisau, ini
melambangkan pelajaran untuk
mencapai lendeping cipta
(tajamnya cipta). Reksa berarti
mamalihara atau mengurusi;
muka adalah wajah, jadi yang
dimaksud dengan Reksamuka
dapat diartikan: mencapai sari
ilmu sejati melalui samadi.
1. Sebelum melakukan samadi
orang harus membersihkan atau
menyucikan badan dan jiwanya
dengan air.
2. Pada waktu samadi dia harus
memusatkan ciptanya dengan
fokus pandangan kepada pucuk
hidung. Terminologi mistis yang
dipakai adalah mendaki gunung
Tursina, Tur berarti gunung, sina
berarti tempat artinya tempat
yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat
penting pada saat samadi.
Seseorang yang mendapatkan
restu dzat yang suci, dia bisa
melihat kenyataan antara lain
melalui cahaya atau sinar yang
datang kepadanya waktu
samadi. Dalam cerita wayang
digambarkan bahwasanya Resi
Manukmanasa dan Bengawan
Sakutrem bisa pergi ketempat
suci melalui cahaya suci.
- Raksasa Rukmuka dan
Rukmakala
Di hutan, Bima diserang oleh
dua raksasa yaitu Rukmuka dan
Rukmala. Dalam pertempuran
yang hebat Bima berhasil
membunuh keduanya, ini berarti
Bima berhasil menyingkirkan
halangan untuk mencapai
tujuan supaya samadinya
berhasil.
Rukmuka : Ruk berarti rusak, ini
melambangkan hambatan yang
berasal dari kemewahan
makanan yang enak
(kemukten).
Rukmakala : Rukma berarti
emas, kala adalha bahaya,
menggambarkan halangan yang
datang dari kemewahan
kekayaan material antara lain:
pakaian, perhiasan seperti emas
permata dan lain-lain
(kamulyan)
Bima tidak akan mungkin
melaksanakan samadinya
dengan sempurna yang
ditujukan kepada kesucian
apabila pikirannya masih
dipenuhi oleh kamukten dan
kamulyan dalam kehidupan,
karena kamukten dan kamulyan
akan menutupi ciptanya yang
jernih, terbunuhnya dua raksasa
tersebut dengan gamblang
menjelaskan bahwa Bima bisa
menghapus halangan-halangan
tersebut.
- Samudra dan Ular
Bima akhirnya tahu bahwa air
suci itu tidak ada di hutan ,
tetapi sebenarnya berada
didasar samudra. Tanpa ragu-
ragu sedikitpun dia menuju ke
samudra. Ingatlah kepada
perkataan Samudra Pangaksama
yang berarti orang yang baik
semestinya memiliki hati seperti
luasnya samudra, yang dengan
mudah akan memaafkan
kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari
kejahatan. Bima membunuh ular
tersebut dalam satu
pertarungan yang seru. Disini
menggambarkan bahwa dalam
pencarian untuk mendapatkan
kenyataan sejati, tidaklah cukup
bagi Bima hanya
mengesampingkan kamukten
dan kamulyan, dia harus juga
menghilangkan kejahatan
didalam hatinya. Untuk itu dia
harus mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut:
1. Rila: dia tidak susah apabila
kekayaannya berkurang dan
tidak iri kepada orang lain.
2. Legawa : harus selalu bersikap
baik dan benar.
3. Nrima : bersyukur menerima
jalan hidup dengan sadar.
4. Anoraga : rendah hati, dan
apabila ada orang yang berbuat
jahat kepadanya, dia tidak akan
membalas, tetap sabar.
5. Eling : tahu mana yang benar
dan salah dan selalu akan
berpihak kepada kebaikan dan
kebenaran.
6. Santosa : selalu beraa dijalan
yang benar, tidak pernah
berhenti untuk berbuat yang
benar antara lain : melakukan
samadi. Selalu waspada untuk
menghindari perbuatan jahat.
7. Gembira : bukan berarti
senang karena bisa
melaksanakan kehendak atau
napsunya, tetapi merasa
tentram melupakan kekecewaan
dari pada kesalahan-kesalahan
dari kerugian yang terjadi pada
masa lalu.
8. Rahayu : kehendak untuk
selalu berbuat baik demi
kepentingan semua pihak.
9. Wilujengan : menjaga
kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh : selalu
mencari dan mempelajari ilmu
yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan
antara lain makan pada waktu
sudah lapar, makan tidak perlu
banyak dan tidak harus memilih
makanan yang enak-enak:
minum secukupnya pada waktu
sudah haus dan tidak perlu
harus memilih minuman yang
lezat; tidur pada waktu sudah
mengantuk dan tidak perlu
harus tidur dikasur yang tebal
dan nyaman; tidak boleh terlalu
sering bercinta dan itu pun
hanya boleh dilakukan dengan
pasangannya yang sah.
Pertemuan dengan Dewa
Suksma Ruci
Sesudah Bima mebunuh ular
dengan menggunakan kuku
Pancanaka, Bima bertemu
dengan Dewa kecil yaitu Dewa
Suksma Ruci yang rupanya
persis seperti dia. Bima
memasuki raga Dewa Suksma
Ruci melalui telinganya yang
sebelah kiri. Didalam, Bima bisa
melihat dengan jelas seluruh
jagad dan juga melihat dewa
kecil tersebut.
Pelajaran spiritual dari
pertemuan ini adalah :
- Bima bermeditasi dengan
benar, menutup kedua matanya,
mengatur pernapasannya,
memusatkan perhatiannya
dengan cipta hening dan rasa
hening.
- Kedatangan dari dewa Suksma
Ruci adalah pertanda suci,
diterimanya samadi Bima yaitu
bersatunya kawula dan Gusti.
Didalam paningal (pandangan
didalam) Bima bisa melihat
segalanya segalanya terbuka
untuknya (Tinarbuka) jelas dan
tidak ada rahasia lagi. Bima
telah menerima pelajaran
terpenting dalam hidupnya
yaitu bahwa dalam dirinya yang
terdalam, dia adalah satu
dengan yang suci, tak
terpisahkan. Dia telah mencapai
kasunyatan sejati. Pengalaman
ini dalam istilah spiritual disebut
“mati dalam hidup” dan juga
disebut “hidup dalam mati”.
Bima tidak pernah merasakan
kebahagiaan seperti ini
sebelumnya. Mula-mula di tidak
mau pergi tetapi kemudian dia
sadar bahwa dia harus tetap
melaksanakan pekerjaan dan
kewajibannya, ketemu
keluarganya dan lain-lain.
Arti simbolis pakaian dan
perhiasan Bima
Bima mengenakan pakaian dan
perhiasan yang dipakai oleh
orang yang telah mencapai
kasunytan-kenyataan sejati.
Gelang Candrakirana dikenakan
pada lengan kiri dan kanannya.
Candra artinya bulan, kirana
artinya sinar. Bima yang sudah
tinarbuka, sudah menguasai
sinar suci yang terang yang
terdapat didalam paningal.
Batik poleng : kain batik yang
mempunyai 4 warna yaitu;
merah, hitam, kuning dan putih.
Yang merupakan simbol nafsu,
amarah, alumah, supiah dan
mutmainah. Disini
menggambarkan bahwa Bima
sudah mampu untuk
mengendalikan nafsunya.
Tusuk konde besar dari kayu
asem
Kata asem menunjukkan
sengsem artinya tertarik, Bima
hanya tertarik kepada laku
untuk kesempurnaan hidup, dia
tidak tertarik kepada kekeyaan
duniawi.
Tanda emas diantara mata.
Artiya Bima melaksanakan
samadinya secara teratur dan
mantap.
Kuku Pancanaka
Bima mengepalkan tinjunya dari
kedua tangannya.
Melambangkan :
1. Dia telah memegang dengan
kuat ilmu sejati.
2. Persatuan orang-orang yang
bermoral baik adalah lebih kuat,
dari persatuan orang-orang
yang tidak bertanggung jawab,
meskipun jumlah orang yang
bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa
mengalahkan seratus korawa.
Kuku pancanaka menunjukkan
magis dan wibawa seseorang
yang telah mencapai ilmu sejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

penjelasan kundalini golden flower level 33

solfeggio

kgf 33