cakra

Cakra (dari bahasa Sanskerta: चक्र, romanisasi: cakra, yang berarti "roda" atau "lingkaran") adalah titik-titik fokus dalam tubuh yang digunakan dalam berbagai bentuk praktik meditasi kuno, yang umumnya dikaitkan dengan Tantra, bagian dari tradisi esoterik Hinduisme dan Buddhisme. Pusat-pusat energi ini diyakini memainkan peran penting dalam kesejahteraan spiritual dan fisik, mempengaruhi aliran energi melalui tubuh. Berbagai tradisi mungkin menggambarkan jumlah dan jenis cakra yang berbeda, tetapi sistem yang paling umum mengakui tujuh cakra utama yang sejajar di sepanjang tulang belakang, dari dasar hingga mahkota kepala. Setiap cakra dianggap berhubungan dengan fungsi fisiologis dan spiritual tertentu, memengaruhi berbagai aspek kehidupan seperti emosi, kesehatan, dan perkembangan spiritual. Studi dan aktivasi pusat-pusat energi ini sering menjadi bagian dari praktik yoga dan meditasi, yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan, penyembuhan, dan pencerahan. Konsep cakra muncul dalam agama Hindu. Kepercayaan tentang cakra bervariasi di antara agama-agama India, dengan banyak teks Buddha yang secara konsisten menyebutkan lima cakra, sementara sumber-sumber Hindu merujuk pada enam atau tujuh cakra. Teks-teks awal Sanskerta menggambarkan cakra baik sebagai visualisasi meditatif yang melibatkan bunga dan mantra, maupun sebagai entitas fisik dalam tubuh. Dalam yoga Kundalini, teknik-teknik seperti latihan pernapasan, visualisasi, mudra, bandha, kriya, dan mantra difokuskan pada manipulasi aliran energi halus melalui cakra. Sistem cakra Barat modern muncul dari berbagai sumber, dimulai pada tahun 1880-an dengan HP Blavatsky dan Theosofis lainnya, diikuti oleh buku Sir John Woodroffe tahun 1919 *The Serpent Power*, dan buku Charles W. Leadbeater tahun 1927 *The Chakras*. Atribut psikologis dan lainnya, seperti warna pelangi, serta berbagai korespondensi dengan sistem lain seperti alkimia, astrologi, batu permata, homeopati, Kabbalah, dan Tarot, ditambahkan kemudian. Secara leksikal, cakra adalah refleksi dari bentuk leluhur Indo-Eropa *kʷékʷlos, yang juga berarti “roda” dan “siklus” (Yunani Kuno: κύκλος, diromanisasi: kýklos). Kata ini memiliki penggunaan literal dan metaforis, seperti dalam “roda waktu” atau “roda dharma,” yang muncul dalam syair Rigveda 1.164.11, tersebar luas dalam teks-teks Weda paling awal. Dalam agama Buddha, khususnya dalam Theravada, kata benda Pali *cakka* berarti “roda.” Dalam inti “Tripitaka,” Buddha sering menyebut “dhammacakka,” atau “roda dharma,” yang mengandung arti bahwa dharma ini, yang bersifat universal, harus memiliki ciri-ciri khas dalam setiap manifestasi temporal. Buddha juga berbicara tentang pembebasan dari siklus karma, reinkarnasi, kebebasan kognitif atau emosional. Dalam Jainisme, istilah *chakra* juga berarti “roda” dan muncul dalam berbagai konteks dalam literatur kuno. Seperti dalam agama-agama India lainnya, chakra dalam teori esoterik Jainisme, seperti yang dikemukakan oleh Buddhisagarsuri, merujuk pada pusat energi dalam yoga. Kata *cakra* pertama kali muncul dalam Weda, meskipun bukan dalam arti sebagai pusat energi psikis, melainkan dalam konteks *chakravartin*, yaitu raja yang “memutar roda kerajaannya” ke segala arah dari pusat, melambangkan pengaruh dan kekuasaannya. Ikonografi yang populer untuk mewakili *cakra*, menurut sarjana David Gordon White, dapat ditelusuri kembali ke lima simbol *yajna* (altar api Weda): “persegi, lingkaran, segitiga, setengah bulan, dan pangsit.” Himne 10.136 dari *Rigveda* menyebutkan seorang yogi pertapa dengan seorang wanita bernama *kunamnama*, yang secara harfiah berarti “dia yang membungkuk, melingkar.” Beberapa cendekiawan, seperti DG White dan Georg Feuerstein, menyarankan bahwa dia mungkin merujuk pada *kundalini shakti*, yang merupakan pendahulu terminologi terkait cakra dalam tradisi Tantra selanjutnya. Saluran napas (*nāḍi*) disebutkan dalam *Upanishad* klasik Hinduisme pada milenium pertama SM, tetapi bukan dalam kaitannya dengan teori cakra energi psikis. Tiga *Nāḍi* klasik adalah *Ida*, *Pingala*, dan *Sushumna*, di mana *Sushumna* dianggap yang paling utama menurut *Kṣurikā-Upaniṣhad*. Istilah cakra sebagai hierarki pusat energi internal muncul sekitar abad ke-8 M dalam teks-teks Buddha seperti *Hevajra Tantra* dan *Caryāgiti*, di mana cakra disebut dengan berbagai istilah seperti *cakka*, *padma* (teratai), atau *pitha* (gundukan). Teks-teks Buddha abad pertengahan menyebutkan empat cakra, sementara teks-teks Hindu kemudian seperti *Kubjikāmata* dan *Kaulajñānanirnaya* memperluas jumlah cakra ini. Menurut Feuerstein, *Upanishad* awal Hinduisme memang menyebutkan cakra dalam arti “pusaran psikospiritual,” bersama dengan istilah *prana* atau *vayu* (energi kehidupan) serta *nadi* (arteri pembawa energi). Gavin Flood berpendapat bahwa meskipun kata-kata ini muncul dalam konteks Weda awal, teori yoga gaya cakra dan kundalini baru muncul dalam teks-teks Hindu dan Buddha pada era abad pertengahan. Dalam kutipan dari *Yoginihrdaya* (53–54), chakra dan energi ilahi digambarkan dalam bentuk visualisasi yang kaya dengan simbolisme spiritual. Teks ini berbicara tentang dewi atau entitas ilahi yang bersinar dan memegang berbagai alat yang melambangkan kekuatan dan energi yang berbeda: - **Jerat energi kemauan** melambangkan kekuatan kehendak atau niat yang kuat untuk menciptakan dan mengendalikan. - **Kail energi pengetahuan** mewakili kemampuan untuk memimpin dan mengarahkan melalui kebijaksanaan dan pengetahuan. - **Busur dan anak panah energi tindakan** menunjukkan kapasitas untuk bertindak dan menghasilkan perubahan dalam dunia nyata melalui tindakan yang terarah. Makhluk ilahi ini terbagi menjadi penyangga dan penopang, simbolisasi dari keseimbangan dualitas dalam dunia energi spiritual dan fisik. Referensi ke delapan dan sembilan titik atau bagian cakra bisa merujuk pada aspek cakra yang lebih esoterik, terkait dengan tingkatan atau tahap perkembangan spiritual. Cakra dengan delapan titik atau segmen ini kemungkinan besar mengacu pada suatu mandala atau susunan energi, sedangkan “cakra sembilan kali lipat” sebagai singgasana memperlihatkan dimensi yang lebih mendalam dan kompleks dari energi ilahi yang diatur dalam lapisan-lapisan kesadaran atau realitas. Simbolisme ini berhubungan dengan praktik Tantra, di mana meditasi pada cakra dan energi ilahi menjadi bagian dari penyatuan diri dengan kosmos dan aspek-aspek ilahi. Gagasan tentang cakra, mantra, diagram, dan model dewa serta mandala memungkinkan praktisi untuk melangkah secara bertahap dari model yang dapat dipersepsikan menuju model yang semakin abstrak. Dalam perjalanan ini, dewa-dewa eksternal dan mandala ditinggalkan, sementara diri batin dan mandala internal dibangkitkan. Proses ini merupakan bagian penting dari praktik esoterik dalam tradisi Hindu dan Buddha, yang bertujuan untuk menghubungkan individu dengan alam semesta melalui pemahaman dan manipulasi energi batin. Namun, ide-ide ini tidak terbatas hanya pada tradisi Hindu dan Buddha. Konsep-konsep serupa dan saling tumpang tindih muncul di berbagai budaya di Timur dan Barat, di mana konsep tersebut dikenal dengan berbagai nama seperti “tubuh halus,” “tubuh roh,” “anatomi esoterik,” “tubuh sideris,” dan “tubuh eterik.” Dalam konteks ini, “tubuh halus” merujuk pada bentuk atau struktur energi yang tidak terlihat tetapi dipercaya berperan dalam kesehatan spiritual dan fisik. Menurut Geoffrey Samuel dan Jay Johnston, yang merupakan profesor studi agama dan dikenal karena penelitian mereka tentang Yoga dan tradisi-tradisi esoterik, konsep-konsep ini melintasi batas budaya dan agama, menunjukkan kesamaan dalam cara berbagai tradisi memahami dan bekerja dengan energi batin atau spiritual. Hal ini mengindikasikan bahwa praktik spiritual di seluruh dunia sering kali memiliki tujuan yang sama: memahami, mengontrol, dan menyelaraskan energi batin dengan alam semesta atau kekuatan ilahi. Gagasan dan praktik yang melibatkan apa yang disebut sebagai ‘tubuh halus’ telah ada selama berabad-abad di berbagai belahan dunia. Hampir semua budaya manusia memiliki konsep tentang pikiran, roh, atau jiwa yang terpisah dari tubuh fisik, sering digunakan untuk menjelaskan pengalaman seperti tidur dan mimpi. Konsep-konsep ini menjadi bagian penting dari bagaimana berbagai masyarakat memahami diri manusia dan hubungannya dengan dunia spiritual. Menurut Geoffrey Samuel dan Jay Johnston dalam *Agama dan Tubuh Halus di Asia dan Barat: Antara Pikiran dan Tubuh*, salah satu aspek penting dari praktik tubuh halus ditemukan khususnya dalam tradisi Tantra India dan Tibet, serta dalam praktik-praktik serupa di Cina. Dalam tradisi-tradisi ini, terdapat gagasan tentang ‘fisiologi halus’ internal, yang menggambarkan tubuh (atau lebih tepatnya kompleks tubuh-pikiran) sebagai jaringan saluran energi di mana zat-zat tertentu mengalir, serta titik-titik persimpangan di mana saluran-saluran ini bertemu. Dalam tradisi India, saluran-saluran tersebut dikenal sebagai *nadi*, dan titik-titik pertemuan mereka disebut *cakra*. Konsep ini mencerminkan pemahaman bahwa tubuh manusia tidak hanya terdiri dari materi fisik, tetapi juga dari aliran energi yang halus dan vital. Praktik-praktik seperti yoga, meditasi, dan teknik pernapasan sering kali difokuskan pada menjaga keseimbangan dan harmonisasi aliran energi ini untuk kesehatan fisik, mental, dan spiritual yang optimal. Chakra dan kepercayaan terkait memiliki peran penting dalam tradisi esoterik, namun tidak berkaitan langsung dengan yoga arus utama. Menurut Indolog Edwin Bryant dan cendekiawan lainnya, tujuan utama yoga klasik, seperti pembebasan spiritual (*moksha*), kebebasan, atau pengetahuan diri, dicapai melalui metode yang berbeda dari konsep fisiologi cakra, nadi, atau kundalini. Yoga klasik lebih berfokus pada disiplin mental dan spiritual tanpa menekankan manipulasi pusat energi ini. Dalam yoga arus utama, praktik yang berkaitan dengan cakra, kundalini, atau nadi dianggap berada di pinggiran dan lebih menjadi bagian dari tradisi Tantra atau praktik spiritual tertentu yang bersifat esoterik. Yoga seperti yang diajarkan dalam teks-teks klasik seperti *Yoga Sutra* karya Patanjali, cenderung menekankan *asana* (postur tubuh), *pranayama* (teknik pernapasan), dan *dhyana* (meditasi) sebagai cara untuk mencapai tujuan spiritual, bukan fisiologi halus yang berfokus pada energi internal. Tidak ada konsensus dalam agama Hindu mengenai jumlah cakra, karena konsep ini berkembang dan ditafsirkan secara berbeda oleh berbagai sekte, aliran pemikiran, dan tradisi spiritual dalam Hinduisme. Sementara beberapa tradisi mengikuti sistem tujuh cakra utama, yang lain mengakui cakra tambahan atau jumlah yang berbeda. Keragaman ini mencerminkan kekayaan spiritual dan intelektual dalam agama Hindu, di mana tidak ada standar universal yang diterima untuk cakra. Beberapa sekte utama dalam Hinduisme memiliki interpretasi unik tentang cakra, antara lain: - **Bhakti Yoga**: Jumlah cakra bisa bervariasi, namun cakra jantung sering menjadi pusat perhatian sebagai pusat pengabdian spiritual. - **Ayurveda**: Mengakui tiga cakra utama, yang dikenal sebagai “Marmas,” yang menjadi titik fokus energi fisik, mental, dan spiritual dalam tubuh. - **Shaivisme**: Fokus pada lima cakra, terutama cakra jantung dan mahkota, yang menjadi pusat penting dalam perjalanan spiritual. - **Tantra**: Secara tradisional mengakui empat hingga enam cakra, dengan cakra mahkota dianggap sebagai yang tertinggi dan paling signifikan dalam kebangkitan energi spiritual. - **Shaivisme Kashmir**: Terdapat enam atau tujuh cakra, dengan penekanan pada kebangkitan energi ilahi di dalam tubuh. - **Hatha Yoga**: Mengakui tujuh cakra utama, namun beberapa tradisi Hatha Yoga juga memperhitungkan cakra tambahan. - **Kundalini Yoga**: Fokus pada tujuh cakra utama, tetapi cakra minor tambahan juga diakui untuk menjelaskan aliran energi di seluruh tubuh. - **Tradisi Nath**: Memiliki delapan cakra utama, dengan penekanan pada kebangkitan energi ilahi melalui pusat-pusat ini. - **Vaishnavisme**: Mengakui dua belas cakra, dengan penekanan pada pendakian spiritual melalui pusat-pusat tersebut. Keragaman ini menunjukkan bahwa cakra bukanlah konsep yang tetap, melainkan dipengaruhi oleh konteks filosofis dan spiritual dari setiap tradisi yang mengadopsinya. Tradisi timur klasik, khususnya yang berkembang di India selama milenium pertama Masehi, menggambarkan *nadi* dan *cakra* dalam konteks “tubuh halus.” Dalam pandangan ini, keduanya berada dalam dimensi yang sama dengan realitas jiwa-pikiran yang tidak terlihat namun tetap nyata. Di dalam *nadi* dan *cakra* ini mengalir *prana*, yang merupakan energi kehidupan atau napas. Konsep “energi kehidupan” bervariasi dalam teks-teks, mulai dari pemahaman sederhana tentang pernapasan hingga asosiasi yang lebih kompleks yang menghubungkan energi napas dengan aspek pikiran, emosi, dan bahkan energi seksual. Prana atau esensi ini dianggap lenyap saat seseorang meninggal, meninggalkan tubuh fisiknya. Sebagian dari konsep ini menyatakan bahwa tubuh halus ini menarik diri ke dalam ketika seseorang tidur, menunjukkan bahwa ada dimensi spiritual yang aktif dalam keadaan istirahat. Keyakinan ini menyiratkan bahwa *nadi* dan *cakra* dapat dijangkau, dibangkitkan, dan memiliki peran penting dalam kesehatan tubuh-pikiran seseorang. Interaksi antara jaringan tubuh halus ini dan emosi dipandang sebagai kunci untuk memahami bagaimana individu berhubungan dengan diri mereka sendiri dan orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Banyak teori India dan spekulasi dalam gerakan New Age menyatakan bahwa kesehatan emosional dan spiritual sangat terkait dengan kondisi *nadi* dan *cakra*, menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan dalam sistem energi ini untuk mencapai kesejahteraan secara keseluruhan. Tradisi esoterik dalam agama Hindu mencakup banyak jumlah dan susunan cakra, di mana sistem klasik enam-plus-satu—dengan cakra terakhir, *Sahasrara*, atau cakra mahkota—merupakan yang paling umum. Sistem tujuh cakra ini menjadi inti dari teks-teks Hatha Yoga dan merupakan salah satu dari banyak sistem yang ditemukan dalam literatur Tantra Hindu. Dalam konteks Tantra Hindu, enam *Yogini* dihubungkan dengan enam tempat di tubuh halus, yang sesuai dengan enam cakra dari sistem enam-plus-satu. *Yogini* tersebut dianggap sebagai manifestasi energi feminin yang berfungsi untuk membangkitkan dan memelihara energi spiritual. Dengan demikian, hubungan antara *Yogini* dan cakra menciptakan kerangka kerja di mana praktisi dapat memahami dan bekerja dengan energi halus yang mengalir melalui tubuh mereka. Sistem cakra ini tidak hanya berfungsi sebagai panduan untuk meditasi dan praktik spiritual, tetapi juga menjadi dasar bagi banyak teknik dalam Yoga dan Tantra yang bertujuan untuk mencapai kesadaran yang lebih tinggi dan pembebasan spiritual. Metodologi cakra berkembang pesat dalam tradisi dewi Hindu yang dikenal sebagai Shaktisme. Dalam konteks ini, cakra merupakan konsep penting yang terkait erat dengan elemen lain seperti *yantra*, *mandala*, dan *yoga kundalini*. Dalam tantrisme Shakta, cakra tidak hanya berarti lingkaran atau “pusat energi” di dalam individu, tetapi juga merujuk pada istilah untuk ritual kelompok, seperti *chakra-puja* (ibadah dalam lingkaran), yang mungkin melibatkan atau tidak melibatkan praktik tantra. Sistem berbasis cakra ini menjadi bagian integral dari latihan meditasi yang kemudian dikenal sebagai yoga. Dalam praktik ini, cakra dianggap sebagai titik-titik pusat di mana energi halus, atau *prana*, mengalir, dan pemahaman tentang cakra sangat penting dalam mengembangkan kesadaran spiritual dan mencapai tujuan meditasi. Praktik ini juga mencerminkan hubungan yang dalam antara energi feminin yang disembah dalam Shaktisme dan teknik-teknik meditasi yang dirancang untuk membangkitkan dan mengharmonisasikan energi dalam tubuh, mengarah pada pengalaman spiritual yang lebih tinggi dan pemahaman diri yang lebih dalam. Tradisi esoterik dalam agama Buddha umumnya mengajarkan tentang empat cakra, yang dalam beberapa sumber agama Buddha awal diidentifikasi sebagai *manipura* (pusar), *anahata* (jantung), *vishuddha* (tenggorokan), dan *ushnisha kamala* (mahkota). Dalam perkembangan tertentu dari garis keturunan Nyingma dalam Mantrayana agama Buddha Tibet, cakra sering kali dipahami dalam konteks peningkatan kehalusan dan tatanan, yang mencakup konsep-konsep seperti Nirmanakaya (diri kasar), Sambhogakaya (diri halus), Dharmakaya (diri kausal), dan Mahasukhakaya (diri non-dual). Masing-masing dari kategori ini secara samar-samar dan tidak langsung berkaitan dengan kategori dalam tradisi Shaiva Mantramarga, seperti *Svadhisthana*, *Anahata*, *Visuddha*, dan *Sahasrara*. Jumlah cakra yang diajarkan dapat bervariasi tergantung pada tradisi meditasi tertentu, dengan beberapa sistem mengakui antara tiga hingga enam cakra. Dalam konteks ini, cakra dipandang sebagai konstituen psiko-spiritual yang memiliki korespondensi yang berarti dengan proses kosmik serta padanan Buddha yang didalilkan. Ini menunjukkan bahwa cakra tidak hanya berfungsi dalam tubuh individu, tetapi juga terhubung dengan aspek yang lebih luas dari kosmos dan pengalaman spiritual. Sistem lima cakra yang umum di antara kelas Ibu Tantra mencakup cakra-cakra berikut beserta korespondensinya: 1. **Cakra Basal** - **Unsur:** Bumi - **Buddha:** Amoghasiddhi - **Mantra Bija:** LAM 2. **Cakra Perut** - **Unsur:** Air - **Buddha:** Ratnasambhava - **Mantra Bija:** VAM 3. **Cakra Jantung** - **Unsur:** Api - **Buddha:** Akshobhya - **Mantra Bija:** RAM 4. **Cakra Tenggorokan** - **Unsur:** Angin - **Buddha:** Amitabha - **Mantra Bija:** YAM 5. **Cakra Mahkota** - **Unsur:** Ruang - **Buddha:** Vairochana - **Mantra Bija:** KHAM Setiap cakra ini berhubungan dengan unsur-unsur tertentu dan aspek-aspek spiritual yang berbeda, serta memiliki mantra bijak yang dianggap memiliki kekuatan tertentu dalam praktik meditasi dan ritual. Sistem ini menggambarkan interkoneksi antara aspek fisik dan spiritual dalam tradisi Tantra. Cakra memang memainkan peran sentral dalam Buddhisme Tibet dan dianggap sebagai inti dari pemikiran Tantra. Penggunaan cakra yang tepat dalam praktik sadhana Tantra menunjukkan pentingnya dalam struktur Buddhisme Tibet, di mana tanpa cakra, eksistensi Buddhisme Tibet itu sendiri dipertanyakan. Praktik tertinggi dalam tradisi ini bertujuan untuk menyelaraskan *prana* halus suatu entitas dengan saluran pusat, yang memungkinkan pencapaian kesatuan tertinggi. Hal ini disebut sebagai “harmoni organik,” di mana kesadaran individu tentang Kebijaksanaan bersatu dengan pencapaian cinta universal, mensintesiskan pengalaman langsung tentang Kebuddhaan absolut. Geoffrey Samuel mencatat bahwa sistem esoterik dalam Buddhisme mengembangkan konsep cakra dan *nadi* sebagai pusat dari proses soteriologi mereka. Teori-teori ini kadang-kadang, tetapi tidak selalu, dipadukan dengan praktik fisik yang unik, yang dikenal sebagai yantra yoga atau *’phrul’ khor*, yang berfungsi untuk memperkuat dan mengintegrasikan pengalaman spiritual dengan aspek fisik dan energi tubuh. Praktik-praktik ini bertujuan untuk mencapai transformasi spiritual yang mendalam dan pemahaman yang lebih tinggi tentang realitas. Dalam tradisi Bon, cakra berfungsi sebagai jembatan untuk mengalami gestalt atau keseluruhan pengalaman, dengan masing-masing dari lima cakra utama terhubung secara psikologis dengan lima kualitas kesadaran yang belum tercerahkan dan enam alam penderitaan. Praktik *tsa lung* dalam garis keturunan *Trul khor* dirancang untuk membuka saluran-saluran utama dalam tubuh, yang mengaktifkan dan mendistribusikan *prana* yang membebaskan. Melalui praktik ini, yoga tidak hanya membangkitkan pikiran yang dalam tetapi juga memunculkan atribut positif, gestalt yang melekat, dan kualitas berbudi luhur. Dalam analogi komputer, proses ini dapat dibandingkan dengan meratakan layar kesadaran seseorang dan memanggil berkas yang mengandung atribut positif atau negatif, yang mendukung transformasi dan perkembangan spiritual individu. Dengan demikian, cakra dalam tradisi Bon menjadi kunci dalam memahami dan mengalami kedalaman kesadaran serta jalan menuju pembebasan. Praktik Tantra dirancang untuk mengubah semua pengalaman menjadi bentuk yang lebih murni, digambarkan sebagai “cahaya yang jernih.” Tujuan utama dari praktik ini adalah untuk membebaskan individu dari semua kondisi negatif yang menghambat pertumbuhan spiritual. Melalui proses ini, praktik Tantra berusaha mencapai penyelamatan kognitif yang mendalam, yang mencakup kebebasan dari pengaruh eksternal dan pengendalian, serta menciptakan kesatuan antara persepsi dan kognisi. Dengan kata lain, praktik ini bertujuan untuk membersihkan pikiran dan memperkuat kesadaran, memungkinkan individu untuk mengalami realitas dengan cara yang lebih murni dan terintegrasi, yang pada akhirnya mengarah pada pemahaman dan pengalaman spiritual yang lebih tinggi. Sistem cakra yang paling umum dan banyak dipelajari menggabungkan enam cakra utama dengan pusat ketujuh, yang biasanya tidak dianggap sebagai cakra. Titik-titik ini terletak secara vertikal di sepanjang saluran aksial (sushumna nadi dalam teks Hindu, dan Avadhuti dalam beberapa teks Buddha). Menurut Gavin Flood, sistem enam cakra ini dengan “pusat” sahasrara di ubun-ubun pertama kali muncul dalam Kubjikāmata-tantra, sebuah karya Kaula dari abad ke-11. Sistem cakra ini diterjemahkan pada awal abad ke-20 oleh Sir John Woodroffe (yang juga dikenal sebagai Arthur Avalon) dalam karyanya yang berjudul *The Serpent Power*. Avalon menerjemahkan teks Hindu *Ṣaṭ-Cakra-Nirūpaṇa*, yang berarti pemeriksaan dari tujuh cakra. Cakra secara tradisional berfungsi sebagai alat bantu meditasi, di mana yogi bergerak dari cakra yang lebih rendah menuju cakra tertinggi di ubun-ubun kepala, menghayati perjalanan pendakian spiritual. Dalam tradisi Kundalini Hindu dan Candali Buddha, cakra ditusuk oleh energi yang tidak aktif, yang terletak dekat atau di cakra terendah. Dalam teks-teks Hindu, energi ini dikenal sebagai Kundalini, sedangkan dalam teks-teks Buddha, ia disebut Candali atau Tummo (dalam bahasa Tibet: *gtum mo*, yang berarti “yang ganas”). Deskripsi umum dalam konteks zaman baru mengenai keenam cakra ini, serta titik ketujuh yang dikenal sebagai sahasrara, sering kali menggabungkan warna-warna pelangi menurut teori Newtonian, yang tidak ditemukan dalam sistem India kuno mana pun. Kurt Leland, dalam analisisnya untuk Theosophical Society di Amerika, mencatat bahwa sistem cakra yang berkembang di Barat muncul sebagai hasil dari “kolaborasi yang tidak disengaja” antara berbagai kelompok, termasuk kaum esoteris, peramal, Indolog, dan sarjana mitos seperti Joseph Campbell. Juga terlibat adalah pendiri Institut Esalen, tradisi psikologi Carl Jung, dan karya Charles W. Leadbeater yang berjudul *The Chakras* (1927), yang dianggap sebagai pengetahuan tradisional oleh beberapa yogi India modern, serta penyembuh energi seperti Barbara Brennan. Konsep mengenai tujuh cakra mulai masuk ke dunia Barat sekitar tahun 1880-an, pada saat itu setiap cakra dikaitkan dengan pleksus saraf dalam tubuh. Pada tahun 1918, Sir John Woodroffe juga berkontribusi terhadap pemahaman ini melalui karyanya yang mengintegrasikan berbagai elemen dari tradisi Hindu dan psikologi Barat. Pada tahun 1920-an, masing-masing dari tujuh cakra mulai dikaitkan dengan kelenjar endokrin, suatu tradisi yang masih diikuti hingga saat ini. Selain itu, enam cakra yang lebih rendah juga dikaitkan dengan pleksus saraf dan kelenjar. Pada tahun 1927, Charles W. Leadbeater menambahkan warna-warna pelangi ke dalam sistem cakra; variasi lain yang muncul pada tahun 1930-an mengusulkan enam warna ditambah putih. Seiring perkembangan waktu, atribut psikologis dan atribut lainnya, seperti lapisan aura, tahap perkembangan, penyakit terkait, elemen Aristoteles, emosi, dan kondisi kesadaran, juga ditambahkan ke dalam pemahaman sistem cakra. Selain itu, terdapat beragam dugaan korespondensi dengan logam alkimia, tanda-tanda astrologi, planet, makanan, herbal, dan batu permata yang lebih lanjut mengaitkan cakra dengan berbagai aspek kehidupan dan kesehatan. Dalam *Anatomy of the Spirit* (1996), Caroline Myss menekankan bahwa setiap pikiran dan pengalaman hidup disimpan dalam cakra, yang berfungsi sebagai basis data dari pengalaman tersebut. Dia menggambarkan cakra sejajar dalam kolom vertikal yang mengalir dari pangkal tulang belakang hingga ke ubun-ubun kepala. Dalam praktik New Age, setiap cakra sering diasosiasikan dengan warna tertentu, yang biasanya mengikuti urutan pelangi. Cakra juga dihubungkan dengan berbagai fungsi fisiologis, aspek kesadaran, elemen klasik (seperti tanah, air, api, udara, dan eter), serta kondisi kesehatan yang dapat dipengaruhi oleh keseimbangan atau ketidakseimbangan energi dalam cakra. Misalnya, cakra dasar (Muladhara) sering diasosiasikan dengan warna merah dan berkaitan dengan rasa aman dan kebutuhan dasar, sementara cakra jantung (Anahata) berwarna hijau dan berhubungan dengan cinta dan hubungan. Dengan demikian, cakra menjadi kerangka kerja untuk memahami bagaimana pengalaman, emosi, dan kondisi fisik saling terkait dalam tubuh dan pikiran manusia. Cakra dianggap sebagai pusat vitalitas yang memberikan energi kepada tubuh fisik dan berkaitan dengan interaksi fisik, emosional, dan mental. Dalam banyak tradisi, cakra dilihat sebagai tempat di mana energi kehidupan, atau prana, mengalir. Konsep prana ini dalam kepercayaan New Age sering disamakan dengan shakti, yang merujuk pada kekuatan dan energi feminin. Di tradisi lainnya, cakra berhubungan dengan berbagai istilah untuk energi, seperti qi dalam bahasa Cina, ki dalam bahasa Jepang, koach-ha-guf dalam bahasa Ibrani, bios dalam bahasa Yunani, dan eter. Masing-masing istilah ini mencerminkan pemahaman budaya yang berbeda tentang energi vital yang mengalir dalam tubuh dan memengaruhi kesehatan serta kesejahteraan individu. Cakra menjadi kunci untuk memahami bagaimana energi ini berinteraksi dalam berbagai aspek kehidupan, dari fisik hingga spiritual. Rudolf Steiner memandang sistem cakra sebagai sesuatu yang dinamis dan selalu berkembang, mencatat bahwa pengertiannya telah berubah seiring waktu. Menurutnya, sistem cakra yang ada saat ini berbeda dari yang ada di masa lalu dan akan terus berevolusi di masa depan. Steiner mencatat bahwa urutan perkembangan cakra dimulai dari cakra tertinggi dan bergerak ke bawah, bertentangan dengan pendekatan tradisional yang seringkali bergerak dari bawah ke atas. Ia juga memberikan panduan tentang bagaimana mengembangkan cakra melalui disiplin mental, emosional, dan kehendak. Florin Lowndes, seorang “siswa spiritual,” menekankan bahwa individu dapat meningkatkan kesadaran berpikir mereka dengan beralih dari “jalan kuno” ke “jalan baru,” yang diwakili oleh pemikiran Steiner dalam *The Philosophy of Freedom*. Pendekatan ini menunjukkan hubungan antara perkembangan spiritual dan pemahaman yang lebih dalam tentang energi dan kesadaran, serta bagaimana kita dapat terlibat dalam proses transformasi pribadi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

solfeggio

penjelasan kundalini golden flower level 33

kgf 33